INCULTURATION OR SYNCRETISM: NEW WINE IN NEW WINESKIN
Abstract
Artikel ini bermaksud mendalami persoalan inkulturasi dan sinkretisme. Apakah inkulturasi dapat berhasil tanpa sinkretisme? Berangkat dari studi kasus Sendratari Natal yang sempat memicu perdebatan sengit di Bali, penulis berpendapat bahwa sinkretisme mengacu pada persoalan yang sama dengan inkulturasi. Apa yang kita pandang sebagai sinkretisme di masa lalu, kini kita pahami sebagai inkulturasi. Karena itu, dibutuhkan pemahaman yang lebih positif tentang sinkretisme, yakni sebagai proses pemurnian dan pertobatan yang berkesinambungan. Dalam alur pemikiran ini, sinkretrisme menjadi nama lain inkulturasi, yakni proses integratif dalam mengungkapkan Injil dalam kebudayaan tertentu.
References
————-. Australian Theologies: Themes and methodologies into the third millennium. Strathfield: St. Pauls, 2000.
Haight, Roger. Dynamics of Theology. New York: Paulist, 1999.
Luzbetak, Louis J. The Church and Cultures: New Perspectives in Missiological Anthropology. Maryknoll-New York: Orbis Books, 1989.
May, John. “Syncretism or Synthesis? An Anticipatory Sketch of Religious Change in the Pacific.” South-Pacific Journal of Mission Studies. 1.4, February 1991.
Mercado, Leonardo N. and James Knight eds. Mission and Dialogue. Manila: Divine Word Publication, 1989.
Samuel, Samuel, and Christ Sugden, eds. Sharing Jesus in the Two Third World. Bangalore: Briliant Printers, 1983
Schineller, SJ, Peter. A Handbook on Inculturation. New York-Mahwah: Paulist Press, 1990.
Sudhiarsa, Raymundus I Made. “The Balinese Religion and Christianity Encounter.” Verbum SVD 1992, 47-65.
Pieris, Aloysius. “Mission of the Local Church in Relation to Other Major Religious Traditions: The Non-Semintic Religions in Asia.” in Mary Motte and Joseph R. Lang, eds. Mission in Dialogue. New York: [- 1982, 426-441