http://ejournal.stftws.ac.id/index.php/forum/issue/feedForum2022-11-09T13:16:51+07:00Dr. FX. Kurniawan Dwi Utomofxiwancm@gmail.comOpen Journal Systemsfilsafat, teologihttp://ejournal.stftws.ac.id/index.php/forum/article/view/445Kelapa Sawit sebagai Penyebab Bencana Ekologis - Laudato Si Artikel 29-302022-11-09T13:16:51+07:00Agustinus .agustinuspasionis@gmail.com<p>Fokus penulisan artikel ini ialah perkebunan kelapa sawit sebagai kontributor terjadinya bencana ekologis di Sekadau-Kalimantan Barat ditinjau dari <em>Laudato Si</em> artikel 29-30. Adapun metodologi yang penulis gunakan dalam menggarap karya tulis ini yakni dengan menginput data-data melalui artikel-artikel, majalah-majalah, dan pengamatan langsung oleh penulis sendiri terkait dengan persoalan yang penulis angkat dalam karya tulis ini. Selanjutnya untuk menyempurnakan hasil dari data-data yang telah penulis peroleh tersebut, penulis akan mengkombinasikannya dengan menggunakan studi kepustakaan yakni menggunakan referensi dari buku-buku yang sesuai dengan tema yang penulis angkat dalam artikel ini. Tujuannya agar artikel ini dapat memberikan informasi-informasi baru bagi pembacanya dan dapat dipercaya. Dari studi ini penulis pun menemukan bahwa salah satu penyebab masalah air, terutama sulitnya mendapatkan air bersih di Sekadau-Kalimantan Barat, khususnya di daerah pedalaman ialah karena kehadiran dari perkebunan kelapa sawit. Air bersih sulit didapatkan oleh masyarakat karena dampak dari pupuk perkebunan kelapa sawit. Pupuk ini akan membahayakan kesehatan masyarakat, apabila pupuk tersebut tercemar di air sungai yang airnya dikonsumsi oleh masyarakat. Selain itu, air bersih juga sulit didapatkan karena seringnya banjir. Banjir ini terjadi salah satunya dampak dari pengundulan hutan yang dilakukan demi ekspansi perkebunan kelapa sawit. Akibatnya masyarakat Sekadau yang tinggal di pedalaman terpaksa harus mengkomsumsi air yang tercemar oleh banjir ini. </p>2022-11-09T13:01:00+07:00##submission.copyrightStatement##http://ejournal.stftws.ac.id/index.php/forum/article/view/475Menjadi Solider Seturut Etika Ironis Liberal Richard Rorty2022-11-09T13:16:51+07:00Agustinus Tamtama Putratinustam@gmail.com<p>This paper describes contextual ethical views in life as far as humans. The enforcement of justice demands term and conditions that allow its realization. Richard Rorty's idea of an ironic liberal ethic may become an embryo that can structure and shape justice as part of solidarity. The ethic of ironic liberal guides a person not to absolute his views, but to be open to the truth from others. Freedom is upheld as long as it does not cause cruelty to others because cruelty is the worst thing a human being can do. The open and free attitude that is the spirit of the liberal ironist is at odds with the metaphysics. The metaphysics are still looking for a basis for ethical conduct, while the liberal ironists believe that these various foundations are the root of all cruelty in society. By being ironically liberal, of course one becomes just by itself.</p>2022-11-09T13:05:17+07:00##submission.copyrightStatement##http://ejournal.stftws.ac.id/index.php/forum/article/view/442Kritik Filosofis Terhadap Kekerasan Berlatarbelakang Agama Menurut Konsep Kebahagiaan Boethius2022-11-09T13:16:51+07:00Ian Jovi Sianturiianjovi07@gmail.comYeremias Ninojerynino95@gmail.com<p>Kebahagiaan adalah dambaan semua orang. Setiap tindakan manusia memiliki tujuan yang berbeda-beda dalam hidupnya tetapi semuanya ada dalam bingkai kebahagiaan. Manusia sering tidak mencapai kebahagiaan yang sempurna karena belum memahami hakikat kebahagiaan secara utuh dan sempurna. Artikel ini hendak mengkritisi fenomena kekerasan yang justru dilakukan oleh orang yang menjunjung tinggi agama, dalam kerangka gagasan Boethius. Teori kebahagiaan dari Boethius ini menjadi relevan untuk diulas karena bersinggungan dengan term Allah yang juga dan pasti ada dalam agama. Penulis menemukan bahwa setiap penyalahgunaan pasti menimbulkan kekerasan dan jauh dari kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati hanya ada dalam Allah dan manusia merasa tercukupi dan tidak takut kehilangan apa pun.</p>2022-11-09T13:07:09+07:00##submission.copyrightStatement##http://ejournal.stftws.ac.id/index.php/forum/article/view/443Social Interest dan Relevansinya Terhadap Keterlibatan Indonesia dalam G-202022-11-09T13:16:51+07:00Sonideritus Bandungsonymbandung@gmail.com<p><span class="fontstyle0">The purpose of this study is to discuss the theory of social interest which was coined by Adler. Adler believes that social interest is an attitude of interest that comes from within to connect with other people. The attitude of interest is manifested in the form of cooperation for social interests and social progress. Apparently, this fact reaffirms the existence of humans as social beings. Adler's theory of social interest is correlated with Indonesia's involvement in the G-20 international forum. The G-20 is a cooperation forum involving 19 major countries and the European Union in overcoming important issues such as climate issues, multilateral trade, and the global economic crisis due to the Covid-19 pandemic. Indonesia's participation in the G-20 forum presupposes Indonesia's commitment and contribution to promote mutual prosperity. The method used in<br>this study is the library research. The results found that humans cannot walk alone. They always need someone else. They must have the desire to take part, share and cooperate with othesr. The process of opening up, establishing relationships, and taking part in community is the first step for humans to achieve mutual prosperity</span> </p>2022-11-09T13:08:14+07:00##submission.copyrightStatement##http://ejournal.stftws.ac.id/index.php/forum/article/view/457Lingkungan sebagai Anggota Gereja yang Tersamar (Sebuah Refleksi Eklesiologi Kontekstual William Chang Terhadap Gereja Ekologis)2022-11-09T13:16:51+07:00Vincentius Yossy Karelivincentiusyossy@gmail.com<p>Terminologi “Gereja” memiliki dua arti yakni sebagai sebuah gedung atau bangunan dan sebagai persekutuan umat beriman. Sebagai sebuah gedung, Gereja memiliki beragam rupa wajah tergantung di mana ia dibangun. Gereja di kota-kota besar sungguh berbeda dengan yang ada di pedalaman hutan, tepi pantai, dan tempat-tempat yang masih mengalami keterbatasan pembangunan. Paus Fransiskus, dalam <em>Laudato Si</em>, mengajak umat beriman untuk kembali menaruh perhatian sungguh pada alam lingkungan hidup. Gereja di kota-kota besar yang menggunakan pendingin ruangan dan konsumsi listrik hampir menyamai mal turut menyeruakan kepedulian terhadap lingkungan hidup tanpa mengalihkan konsumsi sumber daya gedung kepada alternatif penghijauan yang bisa membuat Gereja tetap nyaman dijadikan tempat doa. Sedangkan Gereja-gereja di pedalaman yang sangat ‘menyatu dengan alam’, kerap dianggap sebagai sebuah keprihatinan yang membutuhkan bantuan materiil segera. Definisi kata “layak” menjadi perbincangan atas dua fenomena tersebut. Persoalan tersebut akan dijawab dengan menggunakan studi pustaka dan perbandingan literasi dengan menggunakan pemikiran William Chang tentang <em>eco-theology</em> dan moral lingkungan hidup. Temuan-temuan yang didapat dalam tulisan ini adalah bahwa paradigma kedudukan manusia dalam alam semesta harus berubah dari antroposentrisme ke universalisme alam ciptaan, edukasi <em>deep ecology</em> menjadi prioritas utama umat kristiani dalam berelasi dengan lingkungan hidup, dan relasi Allah Tritunggal menjadi rujukan relasi triniter dari Manusia-Allah-Alam.</p>2022-11-09T13:09:19+07:00##submission.copyrightStatement##